Selasa, 23 Februari 2010


Bob Sadino

Pengusaha Berdinas Celana Pendek


Pria berpakaian ''dinas'' celana pendek jin dan kemeja lengan pendek yang ujung lengannya tidak dijahit, ini adalah salah satu sosok entrepreneur sukses yang memulai usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal dari keluarga wirausaha. Pendiri dan pemilik tunggal Kem Chicks (supermarket), ini mantan sopir taksi dan karyawan Unilever yang kemudian menjadi pengusaha sukses.


Titik balik yang getir menimpa keluarga Bob Sadino. Bob rindu pulang kampung setelah merantau sembilan tahun di Amsterdam, Belanda dan Hamburg, Jerman, sejak tahun 1958. Ia membawa pulang istrinya, mengajaknya hidup serba kekurangan. Padahal mereka tadinya hidup mapan dengan gaji yang cukup besar.

Sekembalinya di tanah air, Bob bertekad tidak ingin lagi jadi karyawan yang diperintah atasan. Karena itu ia harus kerja apa saja untuk menghidupi diri sendiri dan istrinya. Ia pernah jadi sopir taksi. Mobilnya tabrakan dan hancur. Lantas beralih jadi kuli bangunan dengan upah harian Rp 100.

Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan depresi yang dialaminya. Bob tertarik. Ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa.

Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap orang asing.

Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing sekalipun. Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek.

Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah.

Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya sering jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang penting kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang.

Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata Bob.

Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob trampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan profesional.
Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih, arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.

Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya.

Bob menempatkan perusahaannya seperti sebuah keluarga. Semua anggota keluarga Kem Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang utama, semuanya punya fungsi dan kekuatan.

Anak Guru

Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, pria Solo yang jadi guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal dunia ketika Bob berusia 19.

Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan kebun. Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya.

Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi berita kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. ''Hati saya ikut hancur,'' kata Bob. Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas bekerja jadi kuli bangunan. Padahal, kalau ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris di luar negeri, bisa menyelamatkan keadaan. Tetapi, Bob bersikeras, ''Sayalah kepala keluarga. Saya yang harus mencari nafkah.''

Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Dari sini Bob menanjak: Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem hidroponik. Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan sebuah ''warung'' shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan awal 1985 menunjukkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual 40 sampai 50 ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar.

''Saya hidup dari fantasi,'' kata Bob menggambarkan keberhasilan usahanya. Ayah dua anak ini lalu memberi contoh satu hasil fantasinya, bisa menjual kangkung Rp 1.000 per kilogram. ''Di mana pun tidak ada orang jual kangkung dengan harga segitu,'' kata Bob.

Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di luar bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak ada habis-habisnya. Karena itu ia tak ingin berkhayal yang macam-macam.

Haji yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik klasik dan jazz. Saat-saat yang paling indah baginya, ketika shalat bersama istri dan dua anaknya.

Nama :
Bob Sadino
Lahir :
Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933
Agama :
Islam

Pendidikan :
-SD, Yogyakarta (1947)
-SMP, Jakarta (1950)
-SMA, Jakarta (1953)

Karir :
-Karyawan Unilever (1954-1955)
-Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950-1967)
-Pemilik Tunggal Kem Chicks (supermarket) (1969-sekarang)
-Dirut PT Boga Catur Rata
-PT Kem Foods (pabrik sosis dan ham)
-PT Kem Farms (kebun sayur)

Alamat Rumah:
Jalan Al Ibadah II/12, Kemang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp: 793981

Alamat Kantor :
Kem Chicks Jalan Bangka Raya 86, Jakarta Selatan Telp: 793618

Sumber:
Antara lain, entrepreneur-university.com dan PDAT

Telur Asin Asap Dwi Mulyanti Perkaya Makanan Khas Semarang


[SUARAMERDEKA] ~ Pada bulan Oktober 2008, ia mendapat penghargaan dari MURI [Museum Rekor-Dunia Indonesia] sebagai orang pertama yang menciptakan telur asin asap. Begitu meluasnya kabar tentang kelezatan telur asin asap ini sampai akhirnya menjadi salah satu makanan khas Semarang yang diincar bahkan di luar Jawa Tengah. Tidak mengherankan apabila produknya yang diberi label ‘Eltama’ tersebut kini sudah tersedia di supermarket-supermarket besar maupun kecil dengan harga rata-rata hampir dua kali lipat harga telur asin biasa.

Mulanya tidak ada yang percaya telur asin asap buatan Dwi Mulyanti (44) bisa laku terjual. Dengan harga Rp 2.500,- per butir, tentu jauh di atas rata-rata telur asin yang hanya dijual di kisaran Rp 1.100,- sampai Rp 1.300,- per butir. Pertama diluncurkan 20 Desember 2006, telur asin asap buatan Dwi Mulyanti boleh dibilang langsung menggebrak. Harga yang tinggi rupanya termaklumkan oleh keunikan rasanya yang membuat para konsumen jatuh cinta pada cicipan pertama.

Ketika ditemui penulis Suara Merdeka di kediamannya di Jl. Berlian I/D-272, Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tembalang, Semarang, Dwi Mulyanti menjelaskan kenapa harga telur asin asap jauh lebih mahal katimbang telur asin biasa. Pertama, katanya, dibutuhkan waktu kurang-lebih satu bulan untuk memprosesnya. Pada dasarnya, cara pembuatan serupa dengan membuat telur asin biasa. Perbedaan terletak hanya pada proses pengasapan yang cukup pelik namun memberi beberapa nilai tambah yang membuatnya unik, seperti: hilangnya bau amis, corak khas pada kulit telur, dan aroma khas asap yang menggugah selera.

”Risiko pecahnya cukup tinggi, antara 10-15 persen, makanya harganya lebih mahal,” kata Dwi yang didampingi suaminya Amos Kumaidi dalam menjalankan wirausahanya. Dwi menggunakan telur bebek yang dua kali seminggu didatangkan dari penyelia di Demak. Sekali datang bisa sampai 2.000 butir telur.

Pengasapan telur selama 12 jam yang dilakukannya juga menuntut sumber asap yang khas. ”Sebenarnya yang cocok untuk mengasap hanya kayu petai cina, batok kelapa, dan sekam. Dua yang pertama sulit sekali mencarinya, makanya kita pakai sekam,” ujar Amos yang sebelumnya menekuni usaha sol sepatu. Sekali pengasapan butuh satu karung sekam yang dibelinya di tempat penggilingan padi di desa Sendangmulyo. Sekam pun kini mulai terbatas persediaannya karena para penjual tanaman di sekitar Semarang juga membutuhkan sekam untuk campuran tanah tanaman pot.

Sebuah oven setinggi 1,8 meter buatan sendiri, yang berkapasitas 600 butir telur, dipakai untuk mengasap telur. Pasangan suami-isteri ini bercita-cita membangun sebuah sentra pembuatan telur asin asap dan sebuah koperasi untuk menyertakan masyarakat setempat dalam membangun kesejahteraan melalui usaha ini. Pelatihan telah dilaksanakan bagi warga-warga yang berminat dan Disnakertrans Kota Semarang memberi komitmen untuk menyediakan bantuan dua buah oven yang masing-masing berkapasitas 1.000 butir ditambah dengan kompor dan peralatan produksi lainnya.

Ketika mulai pada tahun 2006, Dwi hanya memproduksi sekitar 200 butir per minggu. Ia menjajakannya secara berkeliling dan menitipkan sebagian di beberapa supermarket kecil di sekitar kediamannya. Sekarang, hanya dua tahun kemudian, telur asin asap asli buatannya bergulir deras, mencapai 2.000 butir per minggu, menembus pasar ritel tingkat lokal maupun nasional dengan kekuatan modal Rp 20-25 juta per bulan. Sejajar dengan ikan bandeng asap dan lumpia, telur asin asap ciptaan Dwi Mulyanti kini hadir menggiurkan sebagai oleh-oleh dari Semarang yang sangat dinantikan keluarga dan kerabat di rumah.

foto: pengrajin telur asin asap membersihkan kulit telur yang baru selesai 12 jam diasap.

sumber:

  • Telur Asin Asap Tembus Pasar Ritel Besar’ oleh Modesta Fiska/Suara Merdeka CyberNews/Jan2008 >> http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0801/16/dar16.htm
  • http://www.muri.org/

Wirausaha Founder Kaskus


Andrew Darwis dan Ken Dean, Pemilik Kaskus

Besar Karena Loyalitas User


Dari sekadar hobi, Kaskus berubah menjadi komunitas dunia maya terbesar di Indonesia dengan ratusan ribu anggota loyal. Bagaimana Andrew Darwis dan Ken Dean memulainya?

Bagi sekitar 637,401 ribu anggotanya, Kaskus lebih dari sekadar forum internet untuk berbagi dan menggali informasi, chatting, bertukar pikiran dan pendapat, ataupun bertemu teman baru. ”Tapi menjadi sesuatu yang mendarah daging. Sebuah habit dan bagian dari gaya hidup. Banyak Kaskuser—sebutan member Kaskus—yang ngaskus hingga 8-10 jam sehari,” ujar Founder Kaskus Andrew Darwis saat ditemui di gerai Gelare, Plaza Indonesia, Rabu (27/8) silam.
Para Kaskuser, lanjut Andrew, bukan hanya aktif berkorespondensi, tapi juga membuat ikatan solid menurut region ataupun interest yang ada di situs tersebut. ”Selain sering gathering, mereka acap membuat berbagai aktivitas nyata,” lanjutnya. Andrew didampingi sepupunya, CEO Kaskus, Ken Dean Lawadinata.
Kaskuser di Surabaya, dicontohkan Andrew, belum lama ini pernah memberi uluran tangan terhadap pasangan tukang becak yang tidak memiliki tempat tinggal. ”Kegiatan itu bahkan diliput oleh media,” jelas pria kelahiran 20 Juli 1979 ini.
Dengan page views diatas 100 juta perbulan, Kaskus berada di peringkat 7 web site teratas di Indonesia dan posisi 312 dunia versi Alexa. Untuk situs lokal, bisa dibilang Kaskus berada di posisi pertama. Apa sebenarnya yang membuat situs ini menarik?
Secara tidak langsung, jawaban pertanyaan itu terkait dengan bagaimana situs ini bermula. Kaskus, yang berarti Kasak Kusuk (gossiping) dilahirkan pada 6 November 2000 oleh Andrew dan beberapa mahasiswa yang berkuliah di Seattle, Amerika, sebagai media kolektif mahasiswa-mahasiswa Indonesia di luar negeri.
”Dulu Kaskus adalah portal berita Indonesia, bukan forum seperti yang kita kenal sekarang,” terang Andrew. Dari situ lantas tercetus ide untuk membuat forum yang lebih melibatkan pengguna (user generated content). ”Ketika web 2.0 sekerang ini populer, bisa dibilang Kaskus adalah early adaptor-nya. Yakni menyajikan berita dari user untuk user,” imbuh Ken.
Mengadopsi prinsip freedom of speech, para user itu, kata Ken, diberi kebebasan berpendapat asal bertanggung jawab. ”Kita menyediakan tempat, mereka mau posting apa saja terserah,” paparnya. Ternyata, komunitas kecil tersebut menjadi organik, terus berkembang dengan bertambahnya member baru. ”Para member ternyata senang dan loyal dengan konsep ini,” beber Ken.
Konsep yang disebut Ken sebagai citizen journalism (jurnalisme masyarakat), mampu meningkatkan page views Kaskus. Bila ada berita heboh, misalnya, lebih dari 40 ribu user bisa online secara simultan. ”Misalnya pukul 10.15 ada gempa. Pasti ada user yang langsung posting. 15 menit kemudian, kejadiannya baru ditulis di portal berita. Jadi dalam satu dan lain hal, Kaskus adalah referensi awal sebuh berita atau kejadian,” ujarnya.
Lanjut Ken, tak terhitung berapa kali Kaskus menjadi titik awal berita atau trendsetter. ”Misalnya lagu Becek Cinta Laura yang di mix Kaskuser hingga masuk infotainment, ataupun rekaman suara yang diduga milik pilot Adam Air,” papar Ken.
Pembagian segmen di Kaskus tergolong lengkap. Ada lebih dari 20 sub forum dengan berbagai topik, seperti otomotif, gosip, lounge, lifestyle, model kit, arsitektur, atau jual beli. ”Forum jual beli ini salah satu yang terbesar. Banyak yang bilang enggak bisa dapat duit kalau Kaskus enggak aktif,” kenang Ken. Lainnya itu, ada KaskusRadio, yakni radio berbasis internet dengan lebih dari 20 DJ yang menggunakan bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, hingga Korea.
Dengan konsep user generated content, Andrew maupun Ken memang mengaku kesulitan untuk memonitor semua postingan atau thread yang masuk. Termasuk juga menyaring posting yang berkaitan dengan pornografi atau SARA. ”Per detik ada 10-20 post masuk. Bahkan, sejak database kita down karena DDOS attack enam bulan lalu, sudah ada 35 juta post. Jadi, pengawasan ini kita serahkan ke user dengan sistem report atau sekitar 38 moderator (penjaga forum) yang aktif,” paparnya.
Traffic yang makin padat, tidak seimbang dengan webhosting yang mulanya masih menumpang dengan biaya USD30 perbulan (Rp275 ribu). ”Gara-gara belum dedicated server, dulu kita sering ditendang karena mengganggu website lain,” ujar Ken. Saat itulah, mereka memutuskan untuk upgrade, yakni membeli server sendiri.
Setiap 3-6 bulan sekali, traffic bertambah padat. ”Dampaknya, loading time jadi pelan. Itu berarti kita harus tambah server lagi,” jelas Ken. Hingga saat ini, Andrew dan Ken memiliki 16 server masing-masing 8 di Indonesia dan 8 lainnya di Amerika. Per unitnya, berharga sekitar Rp10-20 juta hingga Rp30-40 jutaan. ”Kedua server itu masih kita gunakan. Karena kalau dimatikan salah satunya bisa down. Tapi, kedepannya kita ingin semuanya ada di Indonesia, selain menghemat cost, aksesnya juga lebih cepat,” tutur Ken.
Meski menghabiskan ratusan juta rupiah demi Kaskus, Andrew dan Ken mengaku tidak pernah mendapat untung dari website yang dibidaninya sejak 8 tahun silam itu. ”Karena mulanya Kaskus ini bersifat non profit. Kalaupun ada sedikit uang, langsung dibelikan server lagi,” ujarnya.
Namun, dengan user yang semakin banyak, mau tidak mau Andrew harus mulai memikirkan profit untuk menutup biaya operasional yang semakin membengkak. ”Kalau enggak lama-lama kaskus tutup karena enggak bisa bayar operational cost,” papar Ken tertawa.(danang arradian)

Dilirik Yahoo dan Microsoft
Sejak empat bulan terakhir, baik Andrew maupun Ken lebih banyak menghabiskan waktunya di Indonesia. Ken bahkan menangguhkan sementara kuliahnya di jurusan Finance, Seattle University untuk mengurusi Kaskus. Apa saja rencana mereka kedepan?
Pertama, adalah meng-upgrade dan menambah fitur-fitur baru untuk mempermudah interaksi antar user. Ini sudah ditandai dengan perubahan lay out dan penambahan sponsor. ”Kaskus memang di monetize, tapi enggak kita eksploit 100 persen. Kita menjaga agar user experience enggak berubah. Misalnya 1 page, hanya ada 1 sponsor. Bandingkan dengan kanal berita lain dimana 1 page ada 19 sponsor lebih untuk mendapat revenue balik sebanyak-banyaknya,” papar Ken yang berusaha untuk menjaga esensi freedom of speech.
Meski traffic lebih besar dibandingkan situs lokal lainnya, menurut Ken, harga iklan justru dibuat lebih murah. ”Kalau kita revenue wise, gampang sekali dapat duit banyak. Tapi, itu berarti kita ikuti maunya sponsor. Masalahnya, yang kita pentingkan sekarang adalah user,” ungkap Ken yang hanya menggantungkan promosi word of mouth ini.
Ken juga membenarkan kabar soal kemungkinan Kaskus dipinang oleh Microsoft dan Yahoo. ”Tapi, kita masih dalam tahap mencari tahu, apa yang bisa dikerjakan bersama. Karena, mereka ingin masuk ke market lokal,” ujar Ken yang menyebut Kaskus diminati karena memiliki basis data informasi membernya.
Tawaran akuisisi sebenarnya berdatangan, salah satunya dari IDG Ventures, yang belum lama ini membeli saham di Friendster sejumlah USD20 juta.”Sayangnya, kita tidak pernah tertarik untuk menjual Kaskus ke orang asing,” paparnya.
Kedua, adalah bertemu langsung dengan member dan moderator kaskus dalam acara offair. ”Selama 8 tahun, kita hanya berinteraksi lewat internet. Bahkan, lebih banyak yang mengenal saya sebagai Admin daripada Andrew. Karena itu, Oktober depan rencananya akan ada gathering, semacam aprisasi balik ke user untuk memperkuat komunitas Kaskus. Nanti mungkin ada band, pasar malam, atau bahkan lapak jual beli,” ujar Andrew.
Andrew maupun Ken juga menargetan agar 1 juta member terpenuhi hingga akhir tahun ini. Apa untungnya buat mereka? ”Kita hanya ingin ada website asli Indonesia, yang terkenal di Indonesia. Bukan website asing seperti Friendster atau Facebook. Itu sudah jadi kebanggaan bagi kita. Ini pula cara kita menunjukkan nasionalisme,” papar Ken. (danang arradian)

Nama : Andrew Darwis
Lahir : Jakarta, 20 Juli 1979
Kuliah : Computer Science, Seattle University

Nama : Ken Dean Lawadinata
Lahir : Jakarta, 6 Januari 1986
Kuliah : Finance, Seattle University

Sumber : (kaskus.us)